PJI Kecam Surat Edaran MA tentang Pelarangan Wartawan Rekam Persidangan

Headline, Peristiwa384 Dilihat

Surabaya – Persatuan Jurnalis Indonesia ( PJI ) mengecam adanya surat edaran Mahkamah Agung (MA) tentang tata tertib menghadiri sidang, mengatur pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi yang harus seizin terlebih dulu Ketua Pengadilan Negeri bersangkutan. Menurut PJI hal ini bertentangan dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia ( PJI ) Hartanto Buchori dalam keterangan persnya kepada para wartawan, Minggu (1/3/2020).

Hartanto Buchori menjelaskan bahwa, surat edaran MA Nomor 2 Tahun 2020 tentang terjadianya Omnibus Law atau undang undang yang tumpang tindih atau bertolak belakang yang efeknya sangat merugikan kebebasan Pers di Indonesia.

“Kalau dilanjutkan, pasti akan menuai polemik berkepanjangan, khususnya dengan pers. Karena keduanya saling bertolak belakang. UU pers menganut azas kemerdekaan mencari gagasan dan informasi, sedangkan SE 2/2020, membatasi,”kata Hartanto Buchori.

Jika saat ini surat edaran MA Nomor 2 Tahun 2020, dicabut, memang harus dicabut!!. “Permasalahannya bukan hanya sampai disitu atau berfokus pada pencabutan itu saja,” tambahnya.

“Siapa dibalik ide adanya surat edaran 2/2020 itu Apakah mungkin Ketua MA tidak mengetahui substansi SE tersebut sebelum ditandatani oleh mereka?. Surqt esaran MA Nomor 2 Tahun 2020 itu jelas berpihak pada kemungkinan terjadinya ketidakadilan/mafia peradilan di ruang sidang,”ungkap Hartanto Buchori.

Dia menuturkan, sudah menjadi rahasia umum, bahwa di semua instansi termasuk institusi peradilan, selalu ada “oknum” perusak sistim yang bersih.

“Dalam dunia hukum/peradilan, sering disebut sebagai mafia peradilan. “Tukang menjungkir-balikkan” penegakan hukum dan keadilan. Semua nyaris dilakukan atas dasar motivasi uang,” tambahnya.

Hal ini tentunya akan memperparah keadaan, bila “oknum” dalam suatu institusi relatif banyak, bahkan “direstui” pimpinan institusinya. Apakah kondisi demikian masih dapat disebut oknum?.

Dalam situasi seperti itulah, fungsi pers sebagai sebagai kontrol sosial harus dijalankan, dengan segala “senjatanya” termasuk kamera, perekam audio video, kamera tersembunyi (hidden camera) dan lain-lain.

“Bahkan seorang jurnalis diperbolehkan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam melakukan kegiatan jurnalisme investigasi, selama dilakukan demi/memperjuangkan kepentingan umum dan sifatnya terbatas serta harus dilakukan jurnalis yang bermoral tinggi dan mempunyai tanggung jawab moral. Tak terkecuali untuk menguak ketidak-adilan atau mafia hukum di persidangan atau pengadilan,”ucap dia.

Dalam persidangan, hakim atau peradilan, jelas harus dihormati secara proporsional. Namun kalau sampai harus melakukan pembatasan yang berlebihan seperti diatur dalam SE 2/2020 itu, justru akan berakibat “memanjakan/melindungi” oknum pelaku mafia peradilan.

“Karena hasil foto, perekaman gambar maupun perekaman suara, setidaknya bisa dijadikan alat bukti atau sekurang-kurangnya, “petunjuk” untuk sarana membongkar “pelencengan” keadilan atau setidaknya menjadi “rem” bagi oknum-oknum itu,”pungkas Hartanto Buchori.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *