Bojonegoro, sidik nusantara – Beban berat sangat dirasakan oleh Sulastri (39), warga Desa Parengan, Kabupaten Tuban manakala ayahnya menjalani rawat inap di rumah sakit selama dua minggu akibat sakit diabetes beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, Lastri dan anggota keluarga lainnya belum terdaftar menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga ayahnya terpaksa masuk rumah sakit sebagai pasien umum dan harus membayar penuh biaya pengobatannya. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi Lastri agar tidak terulang kembali ke depannya.
“Andaikan dari dulu kami sekeluarga menjadi peserta JKN, tentu pada saat sakit begini tidak bingung lagi biaya berobat. Tujuh juta rupiah bukan biaya yang sedikit untuk kami keluarkan selama dua minggu ayah menjalani rawat inap di rumah sakit. Apalagi setelah itu masih wajib untuk kontrol ke rumah sakit dan tentu mengeluarkan biaya,” ujar Lastri, Jumat (05/04).
Lastri tidak mau lagi membuang waktu untuk tidak menjadi peserta JKN. Ia pun membulatkan tekad dan memutuskan menjadi peserta JKN saat menyadari banyak kemudahan yang didapat jika suatu hari jatuh sakit. Ia segera menyiapkan sejumlah persyaratan untuk dibawa ke kantor BPJS Kesehatan terdekat.
“Saya telah membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan fotokopi buku rekening untuk mendaftar kepesertaan JKN mandiri. Alhamdulillah petugas BPJS Kesehatan yang melayani sangat ramah informasi sehingga tidak lama menunggu untuk proses pendaftaran. Sesuai dengan penjelasan petugas, empat belas hari aktif dari tanggal pendaftaran maka saya dan keluarga baru sah menjadi peserta JKN,” ujar Lastri.
Akhirnya kepesertaan JKN pun aktif. Tidak berjarak waktu yang lama, ayah Lastri kembali mengalami penurunan kondisi. Lastri pun segera membawa nya ke Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit. Di sana, Lastri menyampaikan bahwa ayahnya menggunakan layanan JKN sebagai penjaminan biaya pengobatan.
“Alhamdulillah tanpa dibedakan dengan pasien lainnya, ayah saya langsung ditangani dengan baik dengan baik. Ternyata menjadi peserta JKN tidak menemui kesulitan saat harus dirawat inap di rumah sakit. Bahkan ayah saya hanya menunjukkan KTP saja sebagai bukti kepesertaan JKN. Tidak lama kemudian sudah dapat dilayani,” kata Lastri.
Lastri juga kaget karena ia pun tidak perlu mengantre untuk mengambil obat di apotek. Ia hanya menunggu petugas datang ke ruangan rawat inap ayahnya. Menurutnya, pelayanan bagi pasien JKN sekarang berbeda jauh sekali dengan yang dulu pernah ia lihat.
“Kalau dulu, banyak sekali peserta JKN yang harus antre dulu untuk mengambil obat. Namun kenyataan sekarang ini, tidak terjadi antrean di loket obat. Aplaagi saya juga telah diinformasikan oleh petugas BPJS Kesehatan untuk menggunakan Aplikasi Mobile JKN pada saat berobat ke fasilitas kesehatan,” tutur Lastri.
Lastri dan suaminya yang bekerja menjadi buruh tani pun tidak keberatan untuk membayar iuran JKN setiap bulannya. Ia meyakini jika niat baiknya untuk membahagian keluarga dan orang tuanya maka kebaikan itu akan kembali padanya. Lastri berharap semoga layanan JKN dapat terus ada keberlangsungannya. Harapan tersebut ia utarakan agar saat ia dan keluarganya sakit, sudah ada yang menjamin biaya pengobatannya.
“Jika mau menghitung setiap bulan iuran JKN yang saya bayarkan mungkin besar namun tidak sebanding dengan manfaat yang saya peroleh. Selama menjalani rawat inap kedua selama seminggu tida sepeserpun biaya pengobatan yang dikeluarkan. Petugas rumah sakit yang ramah tentunya mencerminkan layanan JKN yang sudah semakin bagus. Saya tidak mau lagi terpengaruh cerita yang kurang baik tentang layanan JKN karena sudah membuktikannya sendiri. Semoga JKN semakin bagus layanannya dan merata untuk seluruh masyarakat sampai ke tingkat desa,” katanya. (Tris/Red)